Minggu, 05 Juni 2011

MMR (Milisi Mahasiswa Radikal) desak SBY-BOEDIONO MUNDUR


KENDARI BERGERAK: Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Milisi Mahasiswa Radikal (MMR) mendesak agar Presiden dan Wakil Presiden , Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono segera mundur dari jabatannya sebab dinilai tidak mampu memimpin. Hal tersebut disampaikan oleh MMR di Gedung Sekretariat DPRD Sultra, Selasa (30/5/2011).

massa aksi MMR bergerak dari kampus Universitas Haluoleo dan melakukan long march sampai ke gedung kantor DPRD Sultra. di sepanjang jalan mahasiswa melakukan orasi-orasi dan meneriakan yel-yel perlawanan terhadap rezim SBY-BOEDIONO. dan sesampainya di DPRD Sultra mahasiswa melakukan orasi, namun sampai setengah jam mahasiswa melakukan orasi tak satu pun anggota DPRD yang datang menemui mahasiswa. ini di karenakan anggota dewan lagi masa reses. mengetahui hal ini kemudian mahasiswa bersepakat menduduki kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sultra ini sampai ada anggota dewan yang akan datang menemui dan berdialog dengan massa aksi.

dalam aksi kali ini MMR mengusung issue gulingkan SBY-boediono karena tidak mampu menjalankan amanat rakyat indonesia yang menghendaki, pengentasan kemiskinan dll. menurut MMR rezim SBY tidak mampu membawa perubahan bagi bangsa indonesia. faktanya kemiskinan dan pengangguran semakin meningkat, korupsi merajalela dan justeru pelakunya adalah orang-orang di lingkar kekuasaan, penguasaan modal asing terhadap ekonomi bangsa, penguasaan asing terhadap sumberdaya alam indonesia. meningkatnya kekerasan negara terhadap warga negara dan HAM. MMR juga menyerukan kepada seluruh rakyat indonesia agar segera sadar bahwa pada 13 tahun reformasi dan dalam usia 7 tahun kepemimpinan SBY telah GATAL (gagal total).

aksi MMR ini juga merupakan aksi persiapan awal konsolidasi gerakan nasional mahasiswa indonesia GULINGKAN SBY-BOEDIONO yang akan di gelar serentak pada 01 juli mendatang.

Senin, 09 Mei 2011

Pelanggaran HAM di Indonesia

Amanat konstitusi rakyat indonesia tujuan pendirian negara Indonesia untuk melindungi segenap rakyatnya, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. inilah cita-cita luhur pendirian negara Indonesia leh para pendiri bangsa (founding father). Fakta menunjukan, realisasi pemenuhan negara atas HAM, baik di ranah Hak Sipil dan Politik (Hak SIPOL), maupun Hak Ekonomi Sosial Budaya (Hak EKOSOB) masih jauh dari harapan rakyat.

kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, yang seharunya menjadi tanggung jawab negara, hingga saat ini masih terbengkalai penyelesaiannya. Beberapa kasus yang telah diselidiki dan dinyatakan sebagai kasus pelanggaran HAM berat oleh Komnas HAM, kenyataannya saat ini hanya menjadi tumpukan berkas perkara di Kejaksaan Agung.

Rekomendasi DPR RI tentang kasus penghilangan paksa aktivis pro demokrasi pada 1997/1998, yang dikeluarkan pada tanggal 28 September 2009, tidak ditindaklanjuti pemerintahan SBY. Inti dari rekomendasi itu, merekomendasikan Presiden membentuk pengadilan HAM, membentuk Tim Pencarian untuk Korban yang masih hilang, memberikan kompensasi kepada korban penghilangan paksa, dan meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa.
Terbengkalainya kasus pelanggaran HAM masa lalu, tentunya menyebabkan tidak adanya efek jera terhadap pelaku pelanggaran HAM, dan kasus-kasus tersebut akan terus berulang di kemudian hari. Kenyataannya memang benar! Kasus-kasus pelanggaran HAM selalu saja terjadi hingga hari ini. Penembakan, penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, pelarangan buku, pembubaran pertemuan/rapat masyarakat sipil, perampasan tanah dan upah, teror, kriminalisasi pada rakyat, atau kejahatan negara dan modal dibidang hak EKOSOB yang lainnya masih saja terus terjadi.

Pemerintah terus membiarkan praktek pelanggaran HAM tersebut terus terjadi, tanpa ada upaya untuk diselesaikan secara tuntas.
Pelanggaran hak asasi manusia dapat terjadi dalam interaksi antara aparat pemerintah dengan masyarakat dan antar warga masyarakat. Namun, yang sering terjadi adalah antara aparat pemerintah dengan masyarakat.
Apabila dilihat dari perkembangan sejarah bangsa Indonesia, ada beberapa peristiwa besar pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi dan mendapat perhatian yang tinggi dari pemerintah dan masyarakat Indonesia, seperti :

A.  Kasus Tanjung Priok (1984)

Kasus tanjung Priok terjadi tahun 1984 antara aparat dengan warga sekitar yang berawal dari masalah SARA dan unsur politis. Dalam peristiwa ini diduga terjadi pelanggaran HAM dimana terdapat rarusan korban meninggal dunia akibat kekerasan dan penembakan.

B.  Kasus terbunuhnya Marsinah, seorang pekerja wanita PT Catur Putera Surya Porong, Jatim (1994)
Marsinah adalah salah satu korban pekerja dan aktivitas yang hak-hak pekerja di PT Catur Putera Surya, Porong Jawa Timur. Dia meninggal secara mengenaskan dan diduga menjadi korban pelanggaran HAM berupa penculikan, penganiayaan dan pembunuhan.

C. Kasus terbunuhnya wartawan Udin dari harian umum bernas (1996)


Wartawan Udin (Fuad Muhammad Syafruddin) adalah seorang wartawan dari harian Bernas yang diduga diculik, dianiaya oleh orang tak dikenal dan akhirnya ditemukan sudah tewas.

D.  Peristiwa Aceh (1990)

Peristiwa yang terjadi di Aceh sejak tahun 1990 telah banyak memakan korban, baik dari pihak aparat maupun penduduk sipil yang tidak berdosa. Peristiwa Aceh diduga dipicu oleh unsur politik dimana terdapat pihak-pihak tertentu yang menginginkan Aceh merdeka.

E. Peristiwa penculikan para aktivis politik (1998)


Telah terjadi peristiwa penghilangan orang secara paksa (penculikan) terhadap para aktivis yang menurut catatan Kontras ada 23 orang (1 orang meninggal, 9 orang dilepaskan, dan 13 orang lainnya masih hilang).

F.  Peristiwa Trisakti dan Semanggi (1998)


Tragedi Trisakti terjadi pada 12 Mei 1998 (4 mahasiswa meninggal dan puluhan lainnya luka-luka). Tragedi Semanggi I terjadi pada 11-13 November 1998 (17 orang warga sipil meninggal) dan tragedi Semanggi II pada 24 September 1999 (1 orang mahasiswa meninggal dan 217 orang luka-luka).

G.  Peristiwa kekerasan di Timor Timur pasca jejak pendapat (1999)


Kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia menjelang dan pasca jejak pendapat 1999 di timor timur secara resmi ditutup setelah penyerahan laporan komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) Indonesia - Timor Leste kepada dua kepala negara terkait.

H. Kasus Ambon (1999)


Peristiwa yang terjadi di Ambon ni berawal dari masalah sepele yang merambat kemasala SARA, sehingga dinamakan perang saudara dimana telah terjadi penganiayaan dan pembunuhan yang memakan banyak korban.

I.  Kasus Poso (1998 – 2000)

Telah terjadi bentrokan di Poso yang memakan banyak korban yang diakhiri dengan bentuknya Forum Komunikasi Umat Beragama (FKAUB) di kabupaten Dati II Poso.
J.Kasus Dayak dan Madura (2000)
Terjadi bentrokan antara suku dayak dan madura (pertikaian etnis) yang juga memakan banyak korban dari kedua belah pihak.

K. pembunuhan aktifis HAM 

aktifis HAM munis said Thalib telah 6 tahun dibunuh, namun otak di balik kejahatan tersebut masih belum berhasil di hadapkan ke pengadilan.

L. Kasus TKI di Malaysia (2002)

Terjadi peristiwa penganiayaan terhadap Tenaga Kerja Wanita Indonesia dari persoalan penganiayaan oleh majikan sampai gaji yang tidak dibayar.

M. Kasus bom Bali (2002) DAN beberapa tempat lainnya

Telah terjadi peristiwa pemboman di Bali, yaitu tahun 2002 dan tahun 2005 yang dilakukan oleh teroris dengan menelan banyak korban rakyat sipil baik dari warga negara asing maupun dari warga negara Indonesia sendiri.

N. Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, mengatakan, jutaan anak Indonesia mengalami pelanggaran Hak Asasi Manusia setiap tahun. Jenis bentuk pelanggaran HAM pun beragam.

Pelanggaran HAM anak yang terjadi itu mulai dari pembuangan bayi, penelantaran anak, gizi buruk hingga penularan HIV/Aids. Berdasarkan catatan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), kasus pembuangan bayi yang umumnya dilakukan kalangan orang tua mengalami tren peningkatan.

Pada tahun 2008, Komnas PA menerima pengaduan kasus pembuangan bayi sebanyak 886 bayi. Sedangkan tahun 2009 jumlahnya meningkat menjadi 904 bayi. Tempat pembuangan bayi juga beragam, mulai dari halaman rumah warga, sungai, rumah ibadah, terminal, stasiun kereta api, hingga selokan dan tempat sampah.

Kemudian, dari data yang didapatkan dari Direktorat Pelayanan Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial, Komnas PA menemukan sekitar 5,4 juta anak yang mengalami kasus penelantaran pada tahun 2009. Sedangkan anak yang hampir ditelantarkan mencapai 17,7 juta orang.

dari beberapa kasus pelanggaran HAM tersebut diatas, sebahagiab besarnya adalah pelanggaran HAM di masa orde baru.

menyimak orde baru berarti kita mempertimbangkan dominasi militer dalam politik. ketika militer mendominasi kehidupan politik, pelanggaran hal sipil dan politik pasti tidak terhindarkan bahkan pelanggaran ini acap disertai kekerasan politik seperti apa yang nampak di kampus universitas trisakti maupun di univesitas atmajaya (kasus semanggi)

dominasi militer dalam politik bukan membuat warga negara menjadi lebih merasa aman, tetapi sebaliknya ketidak amanan dan ketidak nyamanan. warga negara dengan gampang di tangkap, di tahan dan di adili. bahkan ada yang di culik, di aniaya dan di bunuh.

orde baru yang di kendalikan kaum jenderal militer terlalu terbiasa dan enak dengan fungsi non militer yang justru bukan keterampilan mereka baik secara konseptual maupun untuk memajukan politik dan perekonomian indonesia. kekuasaan militer yang dominan inilah yang menjadikan signifikasi persoalan pelanggaran HAM, yang berkaitan erat dengan tindakan kekerasan militer.

gerakan mahasiswa 98 mendesak perwujudan demokrasi dengan tidak hanya menolak hasil SI MPR dan presiden Habibie, juga dominasi militer. tengok saja bagaimana mereka menuntut dengan sangat keras dan berulang-ulang penghapusan Dwifungsi ABRI. sementara warga masyarakat aceh, irian jaya dan timor-timur mempersoalkan daerah operasi militer (DOM)

kepentingan pimpinan militer sudah jelas tetap mempertahankan dominasi mereka dalam politik. padahal demokrasi merupakan perwujudan kehidupan masyarakat sipil dalam politik, bukan militer. tampak jelas pimpinan ABRI tidak bergeming atas desakan mahasiswa tersebut dan tidak hendak menghapuskan dominasi mereka dalam politik. keanggotaan dalam DPR dan MPR hanya di kurangi. Tetapi dalam posisi menteri, gubernur, wali kota dan bupati maupun jabatan-jabatan sipil lainnya tampak tidak berkurang.

dengan mempertahankan dominasi dalam politik, pelanggaran HAM yang di sertai kekerasan politik pasti terus terjadi. karena juga, bebagai peristiwa pelanggaran HAM seperti penculikan, tragedi trisakti, kerusuhan mei hingga tragedi semanggi juga DOM di aceh, irja dan timtim tidak mudah dimintai pertanggung jawaban pimpinan ABRI. respon yang di terima biasanya seperti rumus baku, oknum, kesalahan prosedur, dan janji pengusutan yang penyelesaiannya berupa janji baru bukan solusi kongkret.

nah bagaimana dengan masa orde terbaru yang disebut reformasi ini, benarkah negara telah menjalankan amanat dari konstitusi rakyat indonesia?


 






Minggu, 08 Mei 2011

Mengapa Harus Menolak Kawasan Khusus Ekonomi (KEK) Pertambangan Nasional di SULTRA

Rencana Gubernur propinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), Nur Alam, yang hendak menjadikan Sultra sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pertambangan Nasional mesti diwaspadai secara serius oleh semua pihak. Persetujuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas rencana tersebut diberikan setelah Gubernur bertemu Presiden dan jajaran menteri terkait pada Jumat (21/1) di istana negara.

Dalam penjelasan seusai bertemu Presiden, Gubernur Nur Alam menyatakan bahwa Sultra siap untuk dijadikan wilayah KEK, sebab memiliki cadangan sumber daya alam yang melimpah, khususnya untuk jenis tambang: Emas, Nikel dan Aspal. Nur Alam dan Tim menghitung dari hasil Emas dengan cadangan tersedia 1.125 juta ton akan didapatkan uang Rp 337 ribu triliun; dari hasil Nikel cadangan tersedia 90 milyar ton didapatkan uang Rp 48.000 triliun; serta Aspal cadangan tersedia sampai 200 tahun ke depan, dengan jumlah cadangan 3,8 milyar ton.

Apakah KEK itu? Menurut UU No.39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus; KEK adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu. (Pasal 1).
Adapun fungsinya, KEK dikembangkan melalui penyiapan kawasan yang memiliki keunggulan geoekonomi dan geostrategi dan berfungsi untuk menampung kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan daya saing internasional (Pasal 2).

Apa Masalah Dalam KEK?
KEK mengadopsi suatu sistem neoliberalisme berbasis pasar bebas. Nafas KEK adalah pembentukan zonasi perdagangan yang bebas dari campur tangan negara. Ini mengadopsi sistem Free Trade Area (FTA) dimana dalam konteks regional sudah diturunkan dalam perjanjian antara wilayah ASEAN dan RRC dengan nama China-ASEAN Free Trade Agreement (CAFTA) yang berlaku efektif pada Januari 2010.
Dalam CAFTA, ada lima bidang kunci yang disepakati untuk dilakukan kerjasama adalah pertanian, telekomunikasi, pengembangan sumberdaya manusia, investasi antar-negara, dan pembangunan di sekitar area sungai Mekong. Perjanjian CAFTA mengandung tiga pilar: liberalisasi, fasilitasi dan kerjasama ekonomi. [1]

Apa Masalah KEK diterapkan di Sultra?
Sejumlah masalah fundamental mesti dijadikan perhatian pokok pemerintah sebelum mengeluarkan kebijakan menyetujui propinsi Sulawesi Tenggara menjadi KEK Pertambangan Nasional, yaitu:

Pertama, dari sisi demokrasi pemerintahan rencana ini belum mendapat persetujuan dari DPRD Propinsi Sultra juga para Bupati/Walikota yang wilayahnya akan menjadi KEK (Kabupaten Buton, Konawe, Konawe Selatan, Konawe Utara, Kolaka dan Kolaka Utara) sesuai Pasal 4 (b) UU KEK 39/2009. Persetujuan ini juga mesti mendengarkan suara dan aspirasi luas dari publik di Sultra. Kami mencatat, belum pernah Gubernur melakukan suatu sosialisasi publik terkait dengan rencana ini. Padahal, sosialisasi dengan melibatkan komponen-komponen masyarakat, utamanya yang miskin dan akan jadi korban dari kebijakan KEK ini, adalah hal yang penting.
Kedua, penetapan KEK mesti sesuai dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) dan tidak berpotensi mengancam hutan lindung sesuai Pasal 4 (a) UU KEK 39/2009. Padahal kita ketahui saat ini RTRW-P Sulawesi Tenggara sedang dalam tahap rencana revisi berdasarkan UU No.26/2007 tentang Tata Ruang Nasional.

Ketiga, berpotensi kuat melahirkan konflik atas tanah dan sumber daya alam *(konflik tenurial)*. Dimana penetapan KEK Pertambangan Nasional akan memaksa petani dan masyarakat adat serta warga yang berdomisili di wilayah yang ditunjuk sebagai KEK, akan berhadap-hadapan secara vertikal dengan gabungan kepentingan pemilik modal dan aparatur negara. Warga yang menolak juga akan berpotensi konflik horizontal dengan warga yang menerima wilayahnya jadi KEK Pertambangan Nasional.

Keempat, menjadikan Sultra sebagai kawasan pertambangan nasional juga akan mengancam secara ekologis Kawasan Ekologi Genting (KEG) yang menjadi sumber-sumber kehidupan rakyat. Pertambangan akan selalu identik dengan tindakan brutal merusak alam, khususnya hutan dan pesisir-laut, mencemari lingkungan, menyuburkan konflik vertikal dan horizontal di tengah rakyat, menyuburkan korupsi aparat negara, menciptakan kemiskinan ekonomi-sosial-budaya struktural, serta melestarikan rampokisasi sumber daya alam oleh pemodal asing maupun nasional.

Kelima, pemerintah Sulawesi Tenggara mestinya belajar dari cerita praktek pertambangan di sejumlah wilayah seperti Bangka Belitung, Papua, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat. Di wilayah-wilayah ini, negara jelas mendapatkan kerugian ekonomi, sosial maupun ekologis dari industri ekstraktif pertambangan. Hadirnya perusahaan tambang, bukan saja tak dapat mensejahterakan negeri, untuk mensejahterakan masyarakat lingkar tambang beserta alamnya pun: sulit. Hasil tambang habis dikuras untuk kepentingan ekspor (pemilik modal), dan meninggalkan lubang-lubang tambang beracun, serta derita kemiskinan dan kehancuran lingkungan hidup.
Gubernur Nur Alam beserta jajaran pemerintah propinsi Sulawesi Tenggara mesti melihat dan belajar bagaimana praktek dan daya rusak tambang ini pada operasi 3 perusahan tambang di wilayah Sulawesi Tenggara, yaitu: (1) Kabupaten Buton (PT Sarana Karya dan Agro Morini Indah); (2) Kabupaten Kolaka (PT Aneka Tambang), serta (3) Kabupaten Bombana (PT INCO, PT Billy dan PT Panca Logam). Betapa kehadiran perusahaan tersebut lebih banyak mendaangkan masalah dari pada berkah bagi masyarakat dan lingkungan hidup.

Penting juga dicatat bahwa penetapan Sulta sebagai KEK Pertambangan Nasional juga belum didasarkan pada Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan Valuasi Ekonomi Sumber Daya Alam sebagaimana amanat UU No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Mendorong masyarakat sipil lain dari beragam sektor dan kepentingan agar secara sadar mewaspadai kepentingan asing dan pemilik modal besar dalam rencana KEK ini merupakan keharusan dan mutlak harus di lakukan. Kami mencium aroma penjajahan baru *(neokolonialisme)* dan kepentingan kapitalisme-neoliberalisme sangat kuat dalam rencana ini.




Sabtu, 07 Mei 2011

stop kriminalisasi gerakan mahasiswa dan rakyat

MENYIKAPI KENERJA KEPOLISIAN SULAWESI TENGGARA

Saat ini kita kembali menemukan kenyataan di lapangan bahwa janji Pemerintah dan Kepolisian untuk melakukan reformasi di tubuh Kepolisian Republik Indonesia masih jauh dari kenyataan, jikalau belum bisa dikatan sebagai sebuah retorik kosong (KEBOHONGAN) demi memupuk citra. Dalih penertiban dan gangguan terhadap keamanan yang digunakan aparat kepolisian dan pemerintah dalam menangani setiap warga Negara yang menyampaikan pendapat (Unjuk Rasa) selalu dijadikan legitimasi untuk merepresi dan menangkap setiap warga negaranya yang kritis terhadap kebijakan pemerintah (pusat dan daerah). Cara-cara yang lebih mengedepankan tindakan represif ini mengingatkan kita kembali kepada pola Orde Baru dalam menghadapi setiap perjuagan rakyat yang menuntut hak dasarnya. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa aparat kepolisian dan aparat Negara lainnya mulai kembali menempatkan dirinya sebagai penjaga stabilisasi kemananan dalam memastikan ekspansi modal dan keberlangsuangan kekuasaan yang korup.

Dalam beberapa kasus kepolisian Sulawesi tenggara semakin mengukuhkan posisinya sebagai alat Negara dan ekspansi modal dalam merepresif mahasiswa dan rakyat.

Pertama,

 PT. Arga Morini Indah (AMI) yang mendapat izin eksplorasi dari Bupati Buton seluas 2.000 Ha di Desa Wulu dan 1.234 Ha di Desa Kokoe, Kecamatan Talaga Raya sebagai sumber malapetaka dan kesengsaraan rakyat. Bagaimana tidak, karena kawasan pertambangan nikel yang dikuasakan kepada PT. AMI adalah sumber pangan warga dan juga satu-satunya sumber air bersih warga talaga. Saat ini, masyarakat tidak bisa lagi berproduksi di atas lahan pertanian dan kebun mereka, karena telah dikuasai oleh PT. AMI dengan sokongan penuh oleh pemerintah daerah dan aparat keamanan. Alternatif lain yang biasa dilakukan oleh warga untuk memenuhi kehidupan sehari-hari yakni sebagai nelayan dan petambak budidaya juga tidak bisa lagi dilakukan karena lokasi budidaya mereka sudah dipenuhi lumpur-lumpur pertambangan, dan bila hendak menangkap ikan, harus mengayuh sampai 2 mil jauhnya.

Ketidakberdayaan warga talaga menghadapi ekspansi pertambangan PT. AMI dan tindakan represif aparat keamanan yang mendukungnya menghadapkan warga pada pilihan untuk menerima ganti rugi. Ironisnya, ganti rugi pun berlangsung secara tidak adil dan manipulatif. Sebab pihak perusahaan tidak memenuhi kesepakatan ganti rugi yang telah diputuskan bersama. Keputusan bersama menetapkan bahwa ganti rugi tanah sebesar  Rp.5.000/m2 dan ganti rugi tanaman sebesar Rp.500.000/pohon, dan kedua-duanya diganti oleh PT. AMI. Tetapi PT. AMI mengingkari kesepakatan tersebut; pertama, besaran ganti rugi tidak sesuai dengan kesepakatan, dimana tanah dihargai 2.500/m2. Kedua, warga diminta memilih antara menerima ganti rugi tanaman atau tanah. Bagi warga yang menerima ganri rugi tanah, maka tidak mendapatkan ganti rugi tanaman, begitu juga sebaliknya.

Terhadap ketidakadilan yang terus-menerus berlangsung dan penderitaan yang dialami oleh warga Talaga Raya sejak beroperasinya PT. AMI inilah yang melahirkan proses perlawanan rakyat.  Perlawanan warga dilakukan dengan melakukan aksi damai di depan kantor operasional PT.AMI dan berhasil menduduki kantor tersebut. aksi berjalan damai sampai pada akhirnya bentrok tak terhindarkan setelah preman- preman bersenjata yang di sewa PT.AMI datang. aparat memperlihatkan ketidakberpihakan kepada warga yang menuntut haknya, dan lebih memilih untuk melindungi perusahaan dari pada warganya. Aksi damai yang dilakukan oleh warga bersama aktivis pendamping masyarakat pada tanggal 15 Mei 2010, diikuti dengan penangkapan para aktivis pendamping dan  warga pada tanggal 17 Mei 2010. Sebanyak 13 orang ditangkap dengan surat perintah penangkapan nomor: SP. Kap/77/V/2010 dengan tuduhan pengrusakan fasilitas milik PT. AMI, kemudian pada tanggal 18 Mei 2010 (malam hari) polisi kembali menangkap warga.

Ke dua,

pada 15 Desember 2010 saat mahasiswa melakukan aksi unjukrasa menyikapi permasalahan pedagang Pasar Baru, telah terjadi penganiayaan beberapa aktivis mahasiswa dan tindakan pengancaman dengan menggunakan pistol ke arah masa aksi yang dilakukan oleh aparat kepolisian terkait penolakan relokasi pedagang Pasar Baru. perlakuan itu di balas oleh masyarakat dan mahasiswa dengan tindak  pengrusakan Pos Polisi di depan Kantor Walikota Kendari.
buntut dari aksi pengrusakan itu terjadi penahanan aktivis mahasiswa serta pedagang dan  diproses hukum, tetapi sebaliknya aparat kepolisian yang melakukan tindak penganiayaan dan pengancaman sama sekali tidak tersentuh hukum berbeda dengan mahasiswa dan masyarakat yang harus mendekam di tahanan selama 1 tahun 6 bulan.

ke tiga,

senin (28/3/2011) Tragedi penyerangan dan pengrusakkan Gedung Rektorat Kampus Universitas Haluoleo Kendari, Sulawesi Tenggara oleh aparat kepolisian pada 27 Maret 2008 silam, kembali disuarakan elemen mahasiswa.
Sebagai bentuk protes atas tragedi itu, ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Keluarga Besar Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Haluoleo Kendari, berdemonstrasi di Markas Polda Sulawesi Tenggara.
Dipimpin Ketua BEM Fakultas Tekhnik, Abd Rahim, para mahasiswa yang memulai aksinya dari kampus, menggelar aksi konvoi menuju Markas Polda. Saat berorasi didepan Mapolda, Ketua BEM Teknik  menyerukan kepada Kapolda Sultra Brigjend Polisi Sigit Sudarmanto untuk mengusut tuntas kasus penyerangan dan pengrusakkan Gedung Rektorat Kampus Universitas Haluoleo yang melibatkan anggota kepolisian pada 27 Maret 2008 silam. Tak hanya itu, Kapolda juga dituntut untuk meninjau kembali kinerja aparatnya dan bila perlu menjatuhi sanksi kepada para anggotanya yang menjadi pelaku penyerangan itu tanpa pandang bulu.

Gagal bertemu Kapolda, para mahasiswa kemudian meninggalkan Markas Polda dan melanjutkan aksi di perempatan Jalan Ahmad Yani, didepan Kampus Universitas Terbuka dan PGSD. Mahasiswa kemudian  menggelar aksi orasi secara bergantian.
setelah melakukan orasi selama dua jam, mahasiswa meninggalkan menuju kampus teknik unhalu dan sesampainya di kampus massa langsung membubarkan diri dan sebahagian mahasiswa langsung pulang. namun selang setengah jam membubarkan diri, terdengar kabar bahwa tiga orang mahasiswa teknik yang sebelumnya menjadi massa aksi di aniaya oleh oknum yang di duga kuat dari kepolisian. sehingga massa yang telah membubarkan diri mendengar rekannya di aniaya sontak berhamburan dan melakukan pelemparan terhadap pos polisi di depan kampus baru universitas haluoleo. malamnya sekitar pukul 22.00 wita tindak penganiayaan tersebut di laporkan ke polda sultra dan sampai hari ini belum jelas proses hukumnya.

dari kejadian penyerangan pos polisi tersebut, menurut kasat reskrim polres kota kendari pada siaran persnya di berbagai media lokal  pihak kepolisian telah melayangkan enam surat panggilan pemeriksaan kepada mahasiswa teknik sebagai saksi  ke gedung rektorat universitas haluoleo.

disini mampak jelaslah aparat kepolisian begitu antusias, proaktif dan nampak garang  dalam upaya penegakan hukum jika pelaku pelanggaran hukumnya itu adalah mahasiswa dan rakyat biasa. tetapi dalam waktu yang sama kegarangannya bagai macan itu berubah menjadi seperti kucing ompong jika berhadapan dengan penguasa, pemilik modal, elit dan anak pejabat.

beberapa kasus yang sampai saat ini tidak mampu diselesaikan oleh polda sultra :

1. penyerbuan aparat polisi ke Kampus Universitas Haluoleo (UNHALU) Kendari 27 maret 2008
adalah bentuk refresif negara terhadap mahasiswa dan pro demokrasi.

2.  Kasus perampasan lahan (land grabbing) juga terjadi secara sistematis pada masyarakat adat (MA): Kontu di Muna, Sambawa di Konawe Utara, Lipu-Katobengke di Kota Baubau, petani Bungi-Sorawolio yang dijarah hutan dan kekayaan alamnya untuk pertambangan nikel PT Bumi Inti Sulawesi (PT BIS) di kota Baubau, warga di sekitar Lapangan Terbang Maranggo di Tomia Kabupaten Wakatobi, dan kasus penjarahan tanah warga di wilayah pertambangan emas di Kabupaten Bombana.

3. kasus pembunuhan ernawati.
    dalam kasus ini kepolisian merekayasa dan memaksa adis (masyarakat) untuk mengakui sesuatu yang tidak pernah dilakukannya. sehingga adis menjalani hukuman penjara selama beberapa tahun untuk kesalahan yang tak pernah di lakukannya. sampai hari ini kepolisian tidak berinisiatif untuk mengembalikan nama baik saudara adis

4. kasus penganiayaan yang dilakukan anak pejabat konsel (bupati konsel)

5. kasus cabul (pelecehan seksual) yang dilakukan mantan kapolda sultra
    sampai hari ini mantan kapolda sultra tidak pernah di adili di depan hukum akibat perbuatannya yang gemar melakukan pencabulan terhadap beberapa orang polwan di sultra

6. tewasnya tahanan polsek mandonga.
     pada saat penangkapan korban tengah menderita sakit, dan semasa dalam tahanan korban menggunakan kateter sebagai alat bantu. semasa dalam tahanan keluarga dalam pengakuannya telah mengusahakan penangguhan penahanan namun sama sekali tidak di gubris oleh pihak polsek mandonga, bahkan pihak kepolisian menambah masa tahanan polisi. setelah beberapa hari dalam tahanan korban semakin kritis sehingga keluarga berulangkali memohonkan penangguhan penahanan, namun sama dengan upaya semula sama sekali tidak menghasilkan apa-apa. pada tanggal 21 april di mana kondisi korban sudah semakin kritis dan sudah tidak sadarkan diri, maka korban di larikan di rumah sakit korem untuk mendapatkan perawatan medis. tetapi setelah lima hari tidak sadarkan diri di rumah sakit korem korban kembali kepangkuan yang kuasa. disini jelas ada sebuah pelanggaran hak asasi manusia

7.  kasus ipda  Ipda Vernensius Hermanto Bowo mantan Kapolsek Poleang Kabupaten Bombana tiga perwira lainnya, Ipda Terry, Ipda Ardi, dan Ipda Febri, terkait penyekapan, penganiayaan dan pengeroyokan terhadap mantan karyawan Kafe De-Vin's bernama Fadli. yang hanya mengalami mutasi

dan masih banyak lagi kasus lainnya yang tidak mampu di selesaikan oleh kepolisian daerah sulawesi tenggara.

jika ini terus di biarkan dan tidak menjadi perhatian berbagai pihak maka sedikit lagi kita akan kehilangan hak berdemokrasi. untuk itu perlu kerjasama keseluruhan komponen masyarakat untuk mengkampanyekan STOP KRIMINALISASI GERAKAN MAHASISWA DAN RAKYAT.

dengan menyebarkan tulisan ini anda telah membantu berpartisipasi dalam upaya mengkampanyekan STOP KRIMINALISASI GERAKAN MAHASISWA DAN RAKYAT. dengan demikian anda telah membantu usaha menata demokrasi kita.

" SUDAH SAATNYA MAHASISWA DAN RAKYAT BERSATU PADU "

satu bumi milik bersama tanpa batas dan penindasan