Minggu, 08 Mei 2011

Mengapa Harus Menolak Kawasan Khusus Ekonomi (KEK) Pertambangan Nasional di SULTRA

Rencana Gubernur propinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), Nur Alam, yang hendak menjadikan Sultra sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pertambangan Nasional mesti diwaspadai secara serius oleh semua pihak. Persetujuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas rencana tersebut diberikan setelah Gubernur bertemu Presiden dan jajaran menteri terkait pada Jumat (21/1) di istana negara.

Dalam penjelasan seusai bertemu Presiden, Gubernur Nur Alam menyatakan bahwa Sultra siap untuk dijadikan wilayah KEK, sebab memiliki cadangan sumber daya alam yang melimpah, khususnya untuk jenis tambang: Emas, Nikel dan Aspal. Nur Alam dan Tim menghitung dari hasil Emas dengan cadangan tersedia 1.125 juta ton akan didapatkan uang Rp 337 ribu triliun; dari hasil Nikel cadangan tersedia 90 milyar ton didapatkan uang Rp 48.000 triliun; serta Aspal cadangan tersedia sampai 200 tahun ke depan, dengan jumlah cadangan 3,8 milyar ton.

Apakah KEK itu? Menurut UU No.39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus; KEK adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu. (Pasal 1).
Adapun fungsinya, KEK dikembangkan melalui penyiapan kawasan yang memiliki keunggulan geoekonomi dan geostrategi dan berfungsi untuk menampung kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan daya saing internasional (Pasal 2).

Apa Masalah Dalam KEK?
KEK mengadopsi suatu sistem neoliberalisme berbasis pasar bebas. Nafas KEK adalah pembentukan zonasi perdagangan yang bebas dari campur tangan negara. Ini mengadopsi sistem Free Trade Area (FTA) dimana dalam konteks regional sudah diturunkan dalam perjanjian antara wilayah ASEAN dan RRC dengan nama China-ASEAN Free Trade Agreement (CAFTA) yang berlaku efektif pada Januari 2010.
Dalam CAFTA, ada lima bidang kunci yang disepakati untuk dilakukan kerjasama adalah pertanian, telekomunikasi, pengembangan sumberdaya manusia, investasi antar-negara, dan pembangunan di sekitar area sungai Mekong. Perjanjian CAFTA mengandung tiga pilar: liberalisasi, fasilitasi dan kerjasama ekonomi. [1]

Apa Masalah KEK diterapkan di Sultra?
Sejumlah masalah fundamental mesti dijadikan perhatian pokok pemerintah sebelum mengeluarkan kebijakan menyetujui propinsi Sulawesi Tenggara menjadi KEK Pertambangan Nasional, yaitu:

Pertama, dari sisi demokrasi pemerintahan rencana ini belum mendapat persetujuan dari DPRD Propinsi Sultra juga para Bupati/Walikota yang wilayahnya akan menjadi KEK (Kabupaten Buton, Konawe, Konawe Selatan, Konawe Utara, Kolaka dan Kolaka Utara) sesuai Pasal 4 (b) UU KEK 39/2009. Persetujuan ini juga mesti mendengarkan suara dan aspirasi luas dari publik di Sultra. Kami mencatat, belum pernah Gubernur melakukan suatu sosialisasi publik terkait dengan rencana ini. Padahal, sosialisasi dengan melibatkan komponen-komponen masyarakat, utamanya yang miskin dan akan jadi korban dari kebijakan KEK ini, adalah hal yang penting.
Kedua, penetapan KEK mesti sesuai dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) dan tidak berpotensi mengancam hutan lindung sesuai Pasal 4 (a) UU KEK 39/2009. Padahal kita ketahui saat ini RTRW-P Sulawesi Tenggara sedang dalam tahap rencana revisi berdasarkan UU No.26/2007 tentang Tata Ruang Nasional.

Ketiga, berpotensi kuat melahirkan konflik atas tanah dan sumber daya alam *(konflik tenurial)*. Dimana penetapan KEK Pertambangan Nasional akan memaksa petani dan masyarakat adat serta warga yang berdomisili di wilayah yang ditunjuk sebagai KEK, akan berhadap-hadapan secara vertikal dengan gabungan kepentingan pemilik modal dan aparatur negara. Warga yang menolak juga akan berpotensi konflik horizontal dengan warga yang menerima wilayahnya jadi KEK Pertambangan Nasional.

Keempat, menjadikan Sultra sebagai kawasan pertambangan nasional juga akan mengancam secara ekologis Kawasan Ekologi Genting (KEG) yang menjadi sumber-sumber kehidupan rakyat. Pertambangan akan selalu identik dengan tindakan brutal merusak alam, khususnya hutan dan pesisir-laut, mencemari lingkungan, menyuburkan konflik vertikal dan horizontal di tengah rakyat, menyuburkan korupsi aparat negara, menciptakan kemiskinan ekonomi-sosial-budaya struktural, serta melestarikan rampokisasi sumber daya alam oleh pemodal asing maupun nasional.

Kelima, pemerintah Sulawesi Tenggara mestinya belajar dari cerita praktek pertambangan di sejumlah wilayah seperti Bangka Belitung, Papua, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat. Di wilayah-wilayah ini, negara jelas mendapatkan kerugian ekonomi, sosial maupun ekologis dari industri ekstraktif pertambangan. Hadirnya perusahaan tambang, bukan saja tak dapat mensejahterakan negeri, untuk mensejahterakan masyarakat lingkar tambang beserta alamnya pun: sulit. Hasil tambang habis dikuras untuk kepentingan ekspor (pemilik modal), dan meninggalkan lubang-lubang tambang beracun, serta derita kemiskinan dan kehancuran lingkungan hidup.
Gubernur Nur Alam beserta jajaran pemerintah propinsi Sulawesi Tenggara mesti melihat dan belajar bagaimana praktek dan daya rusak tambang ini pada operasi 3 perusahan tambang di wilayah Sulawesi Tenggara, yaitu: (1) Kabupaten Buton (PT Sarana Karya dan Agro Morini Indah); (2) Kabupaten Kolaka (PT Aneka Tambang), serta (3) Kabupaten Bombana (PT INCO, PT Billy dan PT Panca Logam). Betapa kehadiran perusahaan tersebut lebih banyak mendaangkan masalah dari pada berkah bagi masyarakat dan lingkungan hidup.

Penting juga dicatat bahwa penetapan Sulta sebagai KEK Pertambangan Nasional juga belum didasarkan pada Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan Valuasi Ekonomi Sumber Daya Alam sebagaimana amanat UU No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Mendorong masyarakat sipil lain dari beragam sektor dan kepentingan agar secara sadar mewaspadai kepentingan asing dan pemilik modal besar dalam rencana KEK ini merupakan keharusan dan mutlak harus di lakukan. Kami mencium aroma penjajahan baru *(neokolonialisme)* dan kepentingan kapitalisme-neoliberalisme sangat kuat dalam rencana ini.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar